Advertise Box


Komparasi Risiko Bank Syariah versus Bank Konvensional
Oleh : Khamim

Bisnis adalah suatu aktifitas yang selalu berhadapan dengan resiko dan return. Bank syari’ah dan bank konvensional adalah salah satu unit bisnis. Oleh karena itu, bank syari’ah dan bank konvensional juga menghadapi risiko yang ada dalam industri perbankan yaitu risiko pasar, kredit, likuiditas, operasional, hukum, reputasi, strategi dan ekuitas. Komponen risiko pasar dapat di kelompokkan sebagai risiko tingkat suku bunga, risiko nilai tukar dan risiko harga. Namun, karena karakteristik yang spesifik dari transaksi bank syari’ah yang kontrak transaksinya tidak didasarkan tingkat suku bunga, maka risiko perubahan tingkat suku bunga bukan merupakan komponen risiko pasar yang dihadapi bank syari’ah. Oleh karena itu artikel ini akan membahas perbandingan risiko pada bank syariah dengan bank konvensional.
Pada Bab II pasal 4 butir 1 PBI No. 5/8/PBI/2003 disebutkan bahwa risiko-risiko yang terdapat pada perbankan, antara lain :
a. Risiko Kredit (credit risk)
Adalah risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak memenuhi kewajibannya. Pada bank umum, pembiayaan disebut pinjaman, sementara di bank syariah disebut pembiayaan, sedangkan untuk balas jasa yang diberikan atau diterima pada bank umum berupa bunga (interest loan atau deposit) dalam persentase yang sudah ditentukan sebelumnya. Pada bank syariah, tingkat balas jasa terukur oleh sistem bagi hasil dari usaha. Selain itu, persyaratan pengajuan kredit pada perbankan syariah lebih ketat dari perbankan konvensional sehingga risiko kredit dari perbankan syariah lebih kecil dari perbankan konvensional. Oleh sebab itu pada sisi kredit, dalam aturan syariah, bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli murabahah.
Mekanisme seperti itu, akan mencegah kemungkinan dana kredit digunakan untuk transaksi spekulasi, atau untuk jual beli valas. Jika terjadi default, bank mudah mendapatkan dananya kembali karena ada aset yang nilainya jelas berupa sejumlah kredit yang dikucurkan. Dalam bank syariah, karakter nasabah (personal garansi) lebih dinomorsatukan, ketimbang cover guarantee berupa aset (Karim, 2003).
Dengan demikian debitor yang dinilai tidak cacat hukum dan kegiatan usahanya berjalan baik akan mendapat prioritas. Oleh sebab itu, risiko bank syariah sebetulnya lebih kecil dibanding bank konvensional. Bank syariah tidak akan mengalami negative spread, karena dari dana yang dikucurkan untuk pembiayaan akan diperoleh pendapatan, bukan bunga seperti di bank biasa.

b. Risiko Pasar
Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki oleh bank, yang dapat merugikan bank. Variabel pasar antara lain adalah suku bunga dan nilai tukar. Pada perbankan syariah tidak terdapat risiko pasar dikarenakan perbankan syariah tidak melandaskan operasionalnya berdasar risiko pasar.

c. Risiko Likuiditas
Risiko antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo. Bank memiliki dua sumber utama bagi likuiditasnya, yaitu aset dan liabilitas. Apabila bank menahan aset seperti surat-surat berharga yang dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan dananya, maka resiko likuiditasnya bisa lebih rendah. Sementara menahan aset dalam bentuk surat- surat berharga membatasi pendapatan, karena tidak dapat memperoleh tingkat penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan pembiayaan.
Faktor kuncinya adalah bank tidak dapat leluasa memaksimumkan pendapatan karena adanya desakan kebutuhan likuiditas. Oleh karena itu bank harus memperhatikan jumlah likuiditas yang tepat. Terlalu banyak likuiditas akan mengorbankan tingkat pendapatan dan terlalu sedikit akan berpotensi untuk meminjam dana dengan harga yang tidak dapat diketahui sebelumnya, yang akan berakibat meningkatnya biaya dan akhirnya menurunkan profitabilitas. (Zaenal Arifin, :66).
Pada bank syariah, dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya mem-bungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana.

Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, didalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun risiko.

d. Resiko Operasional (operational risk)
Menurut definisi Basle Committe, resiko operasional adalah resiko akibat dari kurangnya sistem informasi atau sistem pengawasan internal yang akan menghasilkan kerugian yang tidak diharapkan. Resiko ini lebih dekat dengan keasalahan manusiawi (human error), adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kegagalan sistem atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko operasional .

e. Risiko Hukum
Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau lemahnya perikatan seperti tidak terpenuhinya syarat sahnya kontrak. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko hukum.

f. Risiko Reputasi
Risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko reputasi.

g. Risiko Stratejik
Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan eksternal. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko stratejik.

h. Risiko Kepatuhan
Risiko yang disebabkan bank tidak memenuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko kepatuhan.

Manajemen Resiko Bank Syariah

Oleh : Khamim
A.    Pendahuluan

Sebagai sebuah entitas bisnis, dalam kegiatan usahanya bank menghadapi resiko-resiko yang memiliki potensi mendatangkan kerugian. Resiko ini tidaklah bisa selalu dihindari tetapi harus dikelola dengan baik tanpa harus mengurangi hasil yang harus dicapai. Resiko yang dikelola dengan tepat dapat memberikan manfaat kepada Bank dalam menghasilkan laba. Agar manfaat tersebut dapat diraih maka para pengambil keputusan harus mengerti tentang risiko dan pengelolaannya.
Risiko dapat didefinisikan sebagai suatu potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat menimbulkan kerugian. Menurut Woorkbook level 1 Global Association of Risk Professionals- Badan Sertifikasi Manajemen Resiko (2005: A4) resiko didefinisikan sebagai “Chance of bad outcome” Maksudnya Risiko yaitu suatu kemungkinan akan terjadinya hasil yang tidak diinginkan , yang dapat menimbulkan kerugian apabila tidak diantisipasi serta tidak dikelola semestinya.
Resiko dalam bidang perbankan merupakan suatu kejadian potensial baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun tidak dapat diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif pada pendapatan maupun permodalan bank. Resiko-resiko tersebut tidak dapat dihindari namun dapat dikelola dan dikendalikan. Resiko ini haruslah dimanaj sedemikian rupa untuk dapat diminimalisir potensi terjadinya.
Seperti juga perbankan pada umumnya, maka bank syariah juga memerlukan prosedur dan tata kelola yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan resiko yang timbul dari kegiatan usaha yang dilakukannya, yang disebut sebagai manajemen resiko.
Berdasarkan keadaan dan lingkungan yang mempengaruhinya, resiko yang dihadapi bank dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar yaitu (1) Resiko yang bersifat sistemik (Systemic Risk), yakni resiko yang diakibatkan oleh adanya kondisi atau situasi tertentu yang bersifat makro seperti perubahan situasi politik, perubahan kebijakan ekonomi pemerintah, perubahan kondisi dan situasi pasar, situasi krisis atau resesi yang akan berpengaruh terhadap kondisi perekonomian secara umum. Dan (2) Risiko yang tidak sistemik (Unsystemic Risk) yaitu resiko unik yang inheren atau melekat pada perusahaan atau industri.
Dan berdasarkan kegiatan usahanya maka resiko tersebut mencakup; (1) Resiko Kredit (Credit Risk) –bagi bank syariah Resiko Pembiayaan (Financing Risk)- (2) Resiko Pasar (Market Risk) (3) Resiko Likuiditas (Liquidity Risk) (4) Resiko Operasional (Operational Risk) (5) Resiko Hukum (Legal Risk) (6) Resiko Reputasi (Reputation Risk) (7) Resiko Strategis (Strategic Risk) (8) dan Resiko Kepatuhan (Compliance Risk).
B.     Jenis-jenis Resiko Perbankan

1)      Resiko Kredit (Credit Risk)
Resiko kredit muncul jika bank tidak bisa memperoleh kembali  cicilan pokok dan atau bunga dari pinjaman yang diberikannya atau investasi yang sedang dilakukannya. Hal ini terjadi sebagai akibat terlalu mudahnya bank memberikan pinjaman atau melakukan investasi karena dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditasnya sehingga penilaian kredit menjadi kurang cermat dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan resiko untuk usaha yang dibiayainya.
Resiko menjadi semakin terlihat manakala perekonomian mengalami krisis atau resesi. Kelesuan ekonomi akan berdampak langsung pada menurunnya omzet penjualan perusahaan, sehingga perusahaan akan mengalami kesulitan untuk dapat memenuhi kewajiban membayar utang-utangnya. Demikian pula jika terjadi kenaikan tingkat bunga.
Kerugian bagi bank semakin bertambah apabila ternyata jaminan bagi pemberian kredit tidaklah memadai atau meng-cover pinjaman yang diberikan. Bank akan mengalami kesulitan yang berat jika ia terbelit dengan masalah kredit macet yang terlampau besar.
Bagi bank konvensional yang menyandarkan kegiatan usaha utamanya pada pemberian kredit, kemampuan meminimalisasi resiko kredit ini menjadi fokus utama sebab hal ini terkait langsung dengan kemampuannya untuk menghasilkan laba.
Dan bagi bank syariah, dimana kegiatan usaha penyaluran kredit digantikan dengan kegiatan jual beli, sewa, investasi dan partnership, manajemen resiko pembiayaan akan memiliki karakteristik yang unik, misalnya;
a.       Untuk transaksi Murabahah, bank syariah menghadapi resiko tidak dipenuhinya pembayaran yang telah diperjanjikan secara tepat waktu sementara bank telah melakukan penyerahan barang.
b.      Untuk Ba’i al Salam dan Istisna, bank menghadapi resiko kegagalan menyediakan barang dengan kualitas dan spesifikasi sesuai pesananan atau gagal menyediakan barang tepat pada waktu yang telah disepakati.
c.       Untuk Ijarah, bank menghadapi resiko rusaknya barang yang disewakan atau untuk kasus tenaga kerja yang disewa bank kemudian disewakan kepada nasabah, timbul resiko tidak perform-nya pemberi jasa.
d.      Untuk Mudharabah, bank sebagai Shahibul Mal mengahadapi resiko ketidak jujuran mudharib. Karakteristik dari Mudharabah adalah bahwa bank tidak dimungkinkan untuk terlibat dalam manajemen usaha Mudharib, yang mengakibatkan bank memiliki kesulitan tersendiri dalam assesment maupun kontrol terhadap pembiayaan yang diberikan.

2)      Resiko Pasar (Market Risk)
Resiko pasar adalah resiko kerugian yang dapat dialami bank melalui portofolio yang dimilikinya sebagai akibat pergerakan variabel pasar (adverse movement) yang tidak menguntungkan. Variabel pasar yang dimaksud adalah suku bunga (interest rate) dan nilai tukar (foreign exchange rate).
Meskipun bank syariah tidak berurusan dengan tingkat suku bunga, namun bagi Indonesia yang menerapkan dual banking system resiko ini akan berpengaruh secara tidak langsung yaitu pada pricing, mengingat nasabah yang dijangkau oleh bank syariah bukan saja nasabah-nasabah yang loyal secara penuh terhadap syariah, tetapi juga nasabah-nasabah yang akan menempatkan dananya ke tempat-tempat yang akan memberikan keuntungan maksimal baginya tanpa memperhitungkan halal atau haramnya.
Resiko nilai tukar terjadi pada portofolio valuta asing yang dimiliki bank. Apabila bank berada pada posisi beli (long position) melemahnya nilai tukar mata uang lokal terhadap mata uang asing akan mengakibatkan kerugian bagi bank. Sebaliknya jika bank berada pada posisi jual (short position) menguatnya nilai tukar mata uang lokal terhadap mata uang asing akan mengakibatkan kerugian bagi bank.

3)      Resiko Likuiditas (Liquidity Risk)
Likuiditas secara umum dapat didefinisikan sebagai kemampuan bank untuk dapat memenuhi kebutuhan dana (cash flow) dengan segera. Nasabah menempatkan dananya di bank dalam jangka pendek (maksimum pada deposito berjangka waktu 24 bulan), sementara kredit atau pembiayaan umumnya adalah dengan jangka waktu yang lebih panjang. Bank dituntut untuk dapat menyediakan kecukupan dana bagi kebutuhan transaksi nasabah deposan. Ketidakmampuan bank dalam memenuhi kebutuhan likuiditas ini bahkan bisa mengakibatkan bank mengalami kebangkrutan.
Resiko likuiditas muncul manakala bank tidak mampu memenuhi kebutuhan dana (cash flow) dengan segera untuk memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari maupun guna memenuhi dana yang mendesak.
Bagi bank syariah, resiko likuiditas ini memiliki kesulitan tersendiri. Tidak seperti pada bank konvensional dimana kesulitan likuiditas ini dapat diatasi dengan pinjaman pasar uang antarbank (interbank call money market) dengan imbalan bunga. Meskipun keadaan ini di Indonesia telah dapat diatasi melalui pembentukan Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS) pada tahun 2000 melalui instrumen Investasi Mudharabah Antarbank (IMA) namun dengan anggota dan volume yang relatif masih terbatas.

4)      Resiko Operasional (Operational Risk)
Resiko operasional adalah resiko akibat kurangnya (deficiencies) sistem informasi atau sistem pengawasan internal yang akan menghasilkan kerugian yang tidak diharapkan. Resiko ini mencakup kesalahan manusia (human error), kegagalan sistem, dan ketidakcukupan prosedur dan kontrol yang akan berpengaruh pada opersional bank.
Resiko operasional ini merupakan kesatuan sistem dari komponen-komponen operasional yaitu; sistem informasi, pengawasan internal, kesalahan manusia (human error), kegagalan sistem dan ketidak cukupan prosedur dan kontrol. Keseluruhan komponen tersebut haruslah mendapat perhatian guna menjamin keberlangsungan dan kesinambungan operasional bank.

5)      Resiko Hukum (Legal Risk)
Resiko hukum adalah terkait dengan resiko bank yang menanggung kerugian sebagai akibat adanya tuntutan hukum, kelemahan dalam aspek legal atau yuridis. Kelemahan ini diakibatkan antara lain oleh ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak terpenuhinya syarat-syarat syahnya kontrak dan pengikatan agunan yang tidak sempurna.

6)      Resiko Reputasi (Reputation Risk)
Resiko reputasi adalah resiko yang timbul akibat adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha bank atau karena adanya persepsi negatif terhadap bank. Hal-hal yang sangat berpengaruh pada reputasi bank antara lain adalah; manajemen, pelayanan, ketaatan pada aturan, kompetensi, fraud dan sebagainya.

7)      Resiko Strategis (Strategic Risk)
Resiko strategis timbul karena adanya penetapan dan pelaksanaan strategi usaha bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan-perubahan eksternal. Indikasi dari resiko strategis ini dapat dilihat dari kegagalan bank dalam mencapai target bisnis yang telah ditetapkan.

8)      Resiko Kepatuhan (Compliance Risk)
Resiko kepatuhan timbul sebagai akibat tidak dipatuhinya atau tidak dilaksanakannya peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang berlaku atau yang telah ditetapkan baik ketentuan internal maupun eksternal.
Ketentuan internal berkaitan dengan aturan-aturan tertentu yang merupakan kebijakan yang ditetapkan manajemen, sedangkan ketentuan eksternal adalah ketentuan yang ditetapkan Pemerintah, Otoritas Moneter (Bank Indonesia) dan Dewan Syariah Nasional MUI.
Kajian Bank Indonesia (2003) menyimpulkan disamping risiko perbankan secara umum perbankan syariah memiliki keunikan dalam hal
·         Potensi adanya risiko investasi (income risk/equity investment risk)
·         Risiko likuiditas yang spesifik terkait dengan perbedaan return (rate of return risk)
·         Market risk yang spesifik dari perubahan harga persediaan
·         Legal risk yang spesifik terkait dengan transaksi menggunakan prinsip syariah
·         Risiko reputasi yang dikaitkan juga dengan pemenuhan prinsip syariah dalam operasional bank

Sponsored by